Indonesia secara resmi memulai proyek ekosistem industri baterai kendaraan listrik (EV) dalam negeri terbesar di Asia Tenggara dengan perusahaan China. Kerja sama yang digarap oleh Konsorsium Contemporary Amperex Terchnology Co Limited (CATL) dengan Indonesia Battery Corporation (IBC) berlokasi di Jawa Barat.
Fasilitas yang diresmikan oleh Presiden RI, Prabowo Subianto ini berlokasi di kawasan Artha Industrial Hills, Karawang dan menjadi proyek strategis. Pembangunan industri baterai EV ini adalah salah satu kerja sama mega proyek dengan total investasi sebesar 5,9 miliar USD (Rp 97 triliun).
Proyek ini memiliki daya produksi yang besar, dan akan semakin ditingkatkan dalam beberapa tahun kedepan demi mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini tentunya akan menjadi kabar yang sangat baik, karena posisi Indonesia sebagai produsen baterai EV akan semakin kokoh di kawasan Asia Tenggara.
Proyek ini tidak berfokus pada produksi baterai EV, namun juga mencanangkan lima proyek lain yang akan terbagi di beberapa wilayah. Mega proyek ini juga diperkirakan bisa memberikan lapangan kerja dalam jumlah besar, sehingga akan memberikan kesempatan kepada warga yang belum memiliki pekerjaan.
Peletakan Batu Pertama
Presiden RI, Prabowo Subianto, meresmikan proyek kerja sama pembuatan baterai EV dengan perusahaan dari China pada Minggu (29/6/2025). Untuk menandai momen bersejarah, Prabowo secara langsung melakukan groundbreaking dengan meletakkan batu pertama sebelum proyek industri baterai EV ini dimulai.
Proyek ini akan digarap oleh PT Aneka Tambang (Antam), PT Indonesia Battery Corporation (IBC), serta satu perusahaan China Contemporary Amperex Terchnology Co Limited (CATL). Pembangunan proyek produksi baterai EV ini berlokasi di wilayah yang strategis di Artha Industrial Hill dan Karawang New Industry City.
Dengan total investasi yang besar dari hulu ke hilir, proyek ini akan memiliki nilai sejarah dan akan memperkuat posisi Indonesia. Mega proyek ini sudah menjadi cita-cita Indonesia sejak lama, untuk memiliki perusahaan terbesar mulai dari Presiden Soekarno sampai Presiden Jokowi.
Pembahasan proyek industri EV ini sudah dimulai sejak 4 tahun lalu, dan mulai direalisasikan pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Hal ini menandai keseriusan Indonesia untuk mengelola proyek besar dengan negara China, serta membuka peluang kerja sama dengan mitra-mitra lainnya.
Menyediakan Lapangan Pekerjaan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengungkapkan proyek dengan dana besar ini mampu memberikan banyak lapangan pekerjaan. Diperkirakan proyek ini mampu memberikan sebanyak 35.000 lapangan pekerjaan yang tidak langsung serta 8000 lapangan secara langsung kepada masyarakat Indonesia.
Pembangunan ekosistem baterai EV ini juga bisa memberikan efek lain pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, sekitar 40 miliar USD per tahun. Skala dari proyek ini akan semakin berkembang setiap tahunnya, dan akan menjadi investasi paling menguntungkan bagi seluruh pihak yang berkontribusi.
Proyek ini akan dibagi secara adil, karena akan menguntungkan pengusaha asing yang menanamkan modal, pengusaha daerah, masyarakat, dan pemerintah daerah. Dalam memproduksi baterai EV, perusahaan ini direncanakan akan memiliki kapasitas awal sebesar 5,9 GWh dan direncanakan akan mulai beroperasi pada akhir 2026.
Pemerintah juga merencanakan perkembangan industri ini menjadi sebesar 15 GWh yang akan dilakukan pada fase keduanya untuk memperbesar lapangan pekerjaan. Mega proyek ini tentu menjadi kabar yang menggembirakan bagi masyarakat Indonesia, karena akan menyediakan lapangan pekerjaan dalam jumlah besar nantinya.
Industri Baterai Terbesar Asia Tenggara
Proyek pembangunan pabrik baterai EV ini merupakan kerja sama dengan total 6 proyek yang bergabung mulai dari hulu sampai hilir. PT Sumberdaya Arindo (SDA) mengurus proyek pertambangan, memiliki kapasitas produksi nikel saprolite sebesar 7,8 juta wet metric ton (wmt) dan 6 juta wmt limonite.
Proyek fasilitas pemurnian dan memproses nikel mentah (smelter) akan dilakukan oleh PT Deni Haltim (FHT), dengan kapasitas hingga 88.000 ton. Memiliki kapasitas kepemilikan saham CBL sebesar 60%, membuat perusahaan ini diperkikan pada tahun 2027 mendatang mampu berproduksi refined nickel alloy.
Untuk memproses High Pressure Acid Leaching (HPAL), PT Nickel Cobalt Halmahera memiliki kapasitas 55.000 ton MHP pertahun dan mulai berproduksi tahun 2028. Dalam tahap pembuatan baterai, material seperti katoda, kobalt sulfat, prekursor terner dengan kapasitas sebesar 30.000 ton Li-Hydroxide akan digunakan nantinya.
PT Contemporary Amperex Technology Indonesia Battery (CATIB), akan mengemban proyek pembentukan sel baterai yang nantinya akan terbagi kedalam dua gelombang. Lalu pada tahun 2031, akan ada proyek untuk mendaur ulang baterai EV yang diperkirakan akan mengelola 20.000 logam per tahun.
Mengurangi Import BBM
Dengan diresmikannya proyek industri pembuatan baterai EV ini, nantinya Indonesia diperkirakan mampu mengurangi kapasitas impor BBM dalam negeri secara signifikan. Apabila proyek ini sudah dimulai, negara diperkirakan mampu menghemat impor BBM hingga 300.000 kiloliter setiap tahunnya yang akan sangat menguntungkan.
Baca Juga: Pendaki Asal Brazil Tewas Dalam Pendakian Gunung Rinjani