Nama Bripda Fauzan Nur Mukhti atau yang dikenal Bripda F kembali menarik perhatian media setelah ia kembali dijatuhi sanksi berat. Anggota Polri yang bertugas di Polres Toraja Utara itu resmi diberikan sanksi Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) untuk kedua kalinya.
Pada tahun 2023, Bripda F sempat ditahui PTDH setelah ia ketahuan memperkosa kekasihnya yang berinisial R (23) hingga memaksa korban mengugurkan kandungan. Saat itu ia dilaporkan melakukan tindakan tidak senonoh terhadap kekasihnya sebanyak 10 kali, sebelum korban memberanikan diri untuk melaporkannya.
Namun tuntutan yang dijatuhkan kepadanya dibatalkan oleh pengadilan setelah ia menyatakan siap bertanggung jawab atas perbuatannya dan akan menikahi korban. Aju banding yang ia ajukan ke pengadilan dikabulkan sehingga hukumannya menjadi demosi selama 15 tahun, kemudian menikah pada Desember 2023.
Meski sudah menikah, Bripda F kembali dilaporkan oleh R yang sudah menjadi istrinya atas dugaan penelantaran dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Laporan tersebut diproses oleh Bidang Propam Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) sampai akhirnya digelar sidang kode etik pada Rabu (19/11).
Pertimbangan Polisi
Kabid Propam Polda Sulsel, Kombes Pol Zulham Effendi membenarkan kabar Bripda F yang kembali dijatuhi sanksi PTDH atas perbuatan kasarnya. Zulham menjelaskan bahwa putusan PTDH diberikan berdasarkan fakta dalam sidan yang menunjukkan adanya pelanggaran berat yang dilakukan oleh Bripda F.
Menururt Zulham, dugaan kasus penelantaran dan KDRT yang dilakukan Bripda F sudah diatur dalam Peraturan Polri No 7 Tahun 2022. Zulham menjelaskan, pemberat utama bagi Bripda F adalah pengingkatan janji yang sebelumnya sudah ia buat dengan istrinya sekaligus korban pemerkosaan.
Padahal janji yang ia buat dengan korban itulah yang menjadi dasar polisi mengabulkan aju banding yang ia sampaikan pada 2023. Dalam surat pernyataannya, Bripda F menyatakan bahwa ia akan bertanggung jawab terhadap istrinya dan dikabulkan banding demosi selama 15 tahun.
Sayangnya janji yang ia buat pada tahun 2024 tidak pernah ia tepati, sampai R kembali melaporkannya ke Propam sebagai korban. Berdasarkan fakta persidangan, Bripda F dilaporkan mengulangi perbuatannya untuk menelantarkan istrinya, kemudian tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya.
Bisa Ajukan Banding
Meski diberikan sanksi PTDH, Propam tetap membuka ruang pembelaan apabila Bripda F ingin mengajukan banding lagi atas kasus yang menjeratnya. Jika terdapat putusan yang tidak sesuai atau ia masih ingin melakukan upaya hukum, Bidpropam akan mempersilahkannya untuk melakukan aju banding.
Terancam Hukuman Penjara

Saat ini Bripda F sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penelantaran dan KDRT yang dilaporkan oleh istrinya ke Propam. Ia dijerat dengan Pasal ayat 1 juncto Pasal 49 dan Pasal 5 huruf B Juncto serta Pasal 45 tentang tindakan KDRT.
Panit 2 Subdit 4 Renakta Ditreskrimum Polda Sulsel, Ipda Mahayuddin Law, menegaskan bahwa ia bisa dijatuhi hukuman berat berupa penjara. Atas tuduhan penelantaran ia bisa dijatuhi hukuman penjara 3 tahun dan denda Rp15 juta, sedangkan untuk kekerasan ia bisa dijatuhi hukuman penjara 3 tahun dengan denda Rp9 juta.
Mahayuddin menduga bahwa penelantaran yang dilakukan Bripda F terhadap istrinya sudah berlangsung sejak keduanya dikabarkan resmi menikah pada Desember 2023. Penelantaran yang dilakukan oleh Bripda F sejak keduanya resmi menikah diduga menjadi pemicu kuat korban melaporkan dirinya kepada pihak kepolisian.
Selain dijatuhkan sanksi etik, Bripda Fauzan juga sedang menjalani proses hukum pidana, sebab ia sudah ditetapkan sebagai tersangka pada Juli 2025. Pihak Polres Toraja Utara menegaskan bahwa hukum berat akan dijatuhkan kepada Bripda F dan prosesnya akan dilakukan secara transparan.
Nikahi Korban untuk Hindari PTDH
Kuasa hukum korban, Muhammad Irvan menyoroti fakta bahwa pernikahan kliennya dengan Bripda F hanya dijadikan sebagai dasar untuk mengubah sanksi. Ia menduga pernikahan itu terpaksa dilakukan oleh Bripda F semata hanya untuk menyelamatkan kariernya dan untuk membebaskannya dari sanksi berat.
Setelah menikahi kliennya, Bripda F dianggap tidak pernah melaksanakan tanggung jawabnya, bahkan pada hari pernikahan korban ditinggalkan oleh Bripda F. Hal tersebut disampaikan oleh Irvan sebab Bripda F menolak untuk tinggal serumah dengan istrinya, sehingga ia ditelantarkan dan tinggal sendirian
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Insur menyatakan bahwa kasus ini seperti mencerminkan keputusan Polri yang wajib dipertanyakan. Pembatalan PTDH terhadap Bripda F dianggap sebagai bentuk impunitas terhadap anggota kepolisian yang sudah melakukan tindak pidana berupa kekerasan seksual.
Keputusan tersebut disebut mempermalukan institusi kepolisian, seharusnya Kapolri, Listyo Sigit Prabowo bisa menjamin lembaga polisi dibawah kewenangannya tidak melakukan kesalahan. Melalui kasus kedua Bripka F ini, Polri harus mulai membenahi sumber daya manusianya agar bisa lebih adil dan berpihak kepada korban.
Baca Juga: Polisi Temukan Ladang Ganja Seluas 51 Hektar di Aceh

