Kondisi Pasar Jelang Lebaran 2025

Badan Pusat Statistik (BPS), melaporkan Indonesia sedang mengalami deflasi secara bulanan atau Month to Month di dua bulan awal 2025. Deflasi pada bulan Januari tercatat dengan penurunan sebesar 0,76% month to month, dan 0,48% month to month pada bulan Februari 2025.

BPS juga membagikan data pada bulan Februari 2025 secara tahunan (year on year) hingga 0,09%, kejadian ini pertama kalinya sejak Maret 2000.Tanda yang biasa ditemui saat perubahan konsumsi rumah tangga terjadi, bisa dilihat melalui deflasi yang menandakan lesunya daya beli masyarakat.

Pemerintah wajib memperhatikan dan mengantisipasi penurunan daya beli masyarakat, dengan merencanakan beberapa program untuk bisa lebih memajukan perekonomian di Indonesia. Kebijakan efisiensi anggaran yang dijalankan oleh pemerintah juga dikhawatirkan akan membawa multiplier efek bagi perkembangan ekonomi masyarakat di Indonesia.

Untuk merangsang pertumbuhan ekonomi di Indonesia, pemerintah perlu menerapkan beberapa kebijakan yang ekspansif yang akan membantu mendorong perekonomian masyarakat menengah. Penurunan konsumsi juga bisa mendatangkan efek domino bagi pemerintahan kedepannya, mengingat Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% di tahun 2025.

Efisiensi yang Tidak Tepat Sasaran

Program efisiensi anggaran pemerintah sampai maraknya aksi pemutusan hubungan kerja (PHK), membayang-bayangi perkembangan ekonomi masyarakat Indonesia menjelang hari lebaran 2025. Akibat tingkat perekonomian yang tidak stabil dan maraknya berita kebijakan tarif yang ditetapkan pemerintah, daya beli masyarakat pun menjadi lesu.

Bank Indonesia (BI), mencatatkan penurunan daya beli masyarakat Indonesia sudah terjadi mulai dari sebelum Ramadhan dan Idul Fitri tahun 2025. Hal ini juga bisa diketahui melalui hasil survei yang dilakukan untuk mengecek kondisi para pedagang eceran di tanah air.

Beberapa pakar ekonomi di Indonesia sangat menyayangkan, efisiensi anggaran sebagai langkah yang diambil oleh pemerintah untuk merespon situasi ekonomi nasional. Alih-alih menerapkan beberapa kebijakan ekspansif untuk membantu meningkatkan level perekonomian bagi masyarakat di seluruh Indonesia, pemerintah malah mengambil langkah sebaliknya.

Efisiensi anggaran memang terlihat baik untuk meningkatkan efektivitas belanja negara, namun kurang efektif saat kondisi ekonomi global sedang tidak stabil. Tidak hanya saat menjelang Ramadhan, deflasi sudah terjadi sejak kuartal pertama tahun ini, dipicu oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Data Pelemahan Daya Beli Masyarakat

Penurunan daya beli masyarakat

Melalui survey penjualan eceran Bank Indonesia pada Februari 2025, penjualan eceran masih tetap tumbuh pada Februari 2025, tercermin pada IPR 2025. Melalui data Indeks Penjualan Rill (IPR), pertumbuhan diperkirakan mencapai angka 214,2 atau mengalami peningkatan sebesar 0,8% month to Month (mtm).

Meski mengalami pertumbuhan pada bulan Februari 2025, kinerja penjualan eceran diperkirakan mengalami penurunan sebesar 0,5% year of year (yoy) 2024. Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penurunan pada sektor makanan, minuman, dan tembakau yang menjadi salah satu pendapatan negara.

Dari pantauan Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat untuk pertama kalinya dalam 25 tahun pada Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi.Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti menyatakan, bahwa penurunan IHK terjadi sebesar 0,09% secara tahunan menjadi 105,48 pada Februari 2025.

Amalia menyebutkan, pada tahun 2000 Indonesia sempat mengalami deflasi sebesar 1,01% pertahun yang disebabkan oleh penurunan IHK dimasa itu. Yang menarik berbeda dari tahun 2000,deflasi pada Februari 2025 terjadi di sektor Perumahan, Air, Listrik, dan Bahan Bakar dengan deflasi sebesar 3,59%.

Akibat PHK

Direktur Eksekutif Institute for Develompent of Economics dan Finance (INDEF), Taufiq Ahmad menilai, badai PHK juga turut memberikan andil besar. Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda juga menyebutkan pemutusan masif di 2 bulan awal menjadi alasan belanja masyarakat terhambat.

Dampak bagi UMKM dan Ritel

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Anggawira juga menyebutkan adanya indikasi penurunan daya beli di masyarakat yang signifikan. Ia menyebutkan, usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) menjadi salah satu sektor yang paling terpengaruh oleh penurunan daya beli masyarakat.

Mengutip dari analisis ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), penurunan pendapatan pedagang informal dan juga UMKM sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Peritel yang menengah ke bawah, seperti Alfamart dan Indomaret hanya mengalamu pertumbuhan 10% dan 4%, sementara Matahari Department Store mengalami penurunan 2,6%”.

Anggawira menilai, data tersebut menunjukkan tidak hanya kelompok ekonomi bawah, masyarakat kelas menengah dan atas juga cenderung menahan belanja. Adapun sektor yang menawarkan jasa seperti perhotelan dan restoran juga merasakan dampak negatif akibat penurunan daya beli masyarakat di Indonesia.

Data penurunan itu menyusul dengan pemangkasan belanja pemerintah untuk keperluan perjalanan dinas, beresiko memicu badai PHK di beberapa perusahaan. Tren penurunan daya beli semakin parah menjelang momen lebaran, dimana kondisi daya beli masyarakat semakin lesu dari tahun sebelumnya.

Baca Juga: Tragedi Kapal Snorkeling Terbalik Hingga Tewaskan satu Turis