RUU TNI dibawa ke Rapat Paripurna

Revisi RUU TNI yang bertujuan untuk memperkuat pertahanan negara dan meningkatkan kinerja TNI, saat ini tengah menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Beberapa poin dari revisi menuai kontroversi, terutama pada poin penempatan prajurit aktif yang bisa mendapatkan jabatan di kursi jabatan sipil.

Selain itu, proses pembahasan yang dilakukan secara tertutup juga dianggap mencurigakan, hingga memicu kritik dan juga penolakan dari banyak pihak. Komisi I DPR RI dan pemerintah melakukan rapat lanjutan untuk membahas Revisi Undang-Undang (RUU) TNI, di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat.

Koalisi Masyarakat Sipil memasuki rapat yang dilakukan secara tertutup ini, karena khawatir dwifungsi ABRI akan kembali dan Supremasi Sipil melemah. Menteri Pertahanan menyampaikan usulannya dalam RUU TNI Nomor 34 Tahun 2004, tentang penambahan posisi kementerian menjadi 15 yang bisa dijabat oleh TNI aktif.

Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute, Center of Public Policy Research (TII), menyebutkan masalah berawal sejak Letkol , Mayor Teddy Indra Wijaya diangkat menjadi sekretaris kabinet. Apabila Wacana untuk memperluas jabatan TNI di ranah pemerintahan sipil ini disetujui, TNI perlahan akan mengembalikan posisinya ke pemerintahan.

Tiga Pasal yang Diubah

Revisi terhadap Undang-Undang TNI akan mencakup 3 pasal yang berkaitan dengan kedudukan TNI dalam pemerintahan sipil, seperti UU No 34 Tahun 2004. Pasal 53 yang berisi tentang penambahan usia pensiun bagi prajurit TNI, terakhir, Pasal 47 yang mengatur jabatan TNI pada Kementerian dan Lembaga.

Sebelum Undang-Undang ini direvisi, anggota TNI yang masih aktif hanya dapat menduduki sebanyak 10 jabatan di kementerian/lembaga sipil. Namun hasil revisi dari Undang-Undang ini akan menambah jumlah jabatan yang dapat ditempati oleh anggota TNI sebanyak 15 jabatan kementerian.

Hal tersebut disampaikan secara langsung oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, yang menyebutkan perubahan hanya ada di 3 pasal. Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin menjelaskan, bahwa tidak ada perubahan dalam pasal 39 UU TNI mengenai larangan prajurit TNI aktif dalam berpolitik.

Pernyataan ini ia sampaikan dalam konteks isi dari pembahasan Revisi UU TNI yang dilakukan di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat (Jakpus). Gagasan tersebut menunjukkan komitmen DPR RI agar dapat terus menjaga prinsip demokrasi dan supremasi sipil di dalam jajaran pemerintahan.

Persetujuan DPR

DPR Setuju dengan RUU TNI

Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memberikan persetujuan untuk melakukan revisi undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Pengesahan RUU TNI sudah dibawa ke dalam Rapat Paripurna atau Keputusan Tingkat II terdekat, agar segera bisa disahkan menjadi Undang-Undang.

Rapat Pleno digelar oleh Komisi DPR terkait dengan pengambilan keputusan Tingkat I RUU TNI, dilakukan pada Selasa (18/3/2025). Rapat tersebut dipimpin oleh Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, Wamenhan Donny Ermawan, dan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas.

Sebanyak delapan Fraksi Partai Politik (Parpol) di pemerintahan sipil, menyatakan persetujuan untuk memberikan pandangan dalam membentuk mini fraksi. Setelah mendapatkan persetujuan, Utut bertanya kepada seluruh peserta Rapat Pleno, untuk meminta persetujuan agar RUU TNI dapat dibawa ke Rapat Paripurna.

“Saya meminta persetujuan kepada para peserta, apakah RUU atas perubahan undang-undang nomor 34 tahun 2004 TNI untuk dibawa ke rapat Paripurna,” tanya Utut. Seluruh peserta rapat menyatakan persetujuan mereka untuk mengesahkan RUU TNI menjadi Undang-undang, setelah mendapatkan persetujuan peserta rapat, Utut mengetok palu.

Tanggapan Peneliti Hukum

Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Insititute (TII), Christina Clarissa Intania menyampaikan tanggapannya mengenai perubahan yang mungkin akan memperluas jabatan TNI. Ia menyebutkan, permasalahan ini bermula dari pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet Merah Putih di pemerintahan Presiden Prabowo.

“Revisi ini dilakukan dengan dalih Letnan Kolonel Teddy yang menjabat sebagai Sekretaris Militer Presiden, namun kini menimbulkan disrupsi di pemerintahan”. Christina juga meyakini, Presiden Prabowo akan memberikan lampu hijau yang divalidasi oleh kabinetnya, untuk meningkatkan citra prajurit aktif dalam berpolitik.

Ia menegaskan, sebagai negara demokrasi yang mengedepankan supremasi sipil, UU TNI dengan jelas mengatur TNI tidak dapat menduduki jabatan sipil. Christina juga membenarkan, adanya pengecualian bagi beberapa jabatan tinggi yang tercantum dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI.

Christina menduga, RUU TNI yang saat ini tengah menjadi perbincangan banyak pihak akan menjadi tindakan untuk mengangkangi aturan existing. “Bukan secara senyap lagi, TNI dapat mengambil langkah legalitas melalui Undang-Undang, payung hukum disalahgunakan untuk kepentingan beberapa pihak,” kritik Christina.

Sejarah Reformasi 1998

Christina khawatir dengan kegelisahan publik mengenai dwifungsi ABRI, meski dibantah oleh pemerintah dan TNI sendiri, karena tidak ada jaminan apapun. Kebijakan yang terus berubah, terutama dengan masalah yang berkaitan dengan situasi komunikasi pemerintahan yang saat ini kurang baik.

Christina juga mengajak masyarakat agar dapat belajar dari sejarah dan berkomitmen untuk menerapkan amanah yang diperjuangkan sejak zaman reformasi 1998. Wacana perluasan jabatan sipil untuk anggota TNI harus dihentikan, sebagai negara demokrasi, pemerintah dan masyarakat harus menjaga marwah demokrasi.

Baca Juga: Prediksi BMKG untuk Musim Kemarau Beberapa Bulan Mendatang